“Andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan
sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Indahnya hidup dengan celupan iman. Saat itulah terasa bahwa dunia bukan
segala-galanya. Ada yang jauh lebih besar dari yang ada di depan mata.
Semuanya teramat kecil dibanding dengan balasan dan siksa Allah swt.
Menyadari bahwa dosa diri tak akan terpikul di pundak orang lain
Siapa pun kita, jangan pernah berpikir bahwa dosa-dosa yang telah
dilakukan akan terpikul di pundak orang lain. Siapa pun. Pemimpinkah,
tokoh yang punya banyak pengikutkah, orang kayakah. Semua kebaikan dan
keburukan akan kembali ke pelakunya.
Maha Benar Allah dengan firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 164. “…Dan
tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada
dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya
kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”
Lalu, pernahkah kita menghitung-hitung dosa yang telah kita lakukan.
Seberapa banyak dan besar dosa-dosa itu. Jangan-jangan, hitungannya tak
beda dengan jumlah nikmat Allah yang kita terima. Atau bahkan, jauh
lebih banyak lagi.
Masihkah kita merasa aman dengan mutu diri seperti itu. Belumkah
tersadar kalau tak seorang pun mampu menjamin bahwa esok kita belum
berpisah dengan dunia. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun bisa
yakin bahwa esok ia masih bisa beramal. Belumkah tersadar kalau kelak
masing-masing kita sibuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kita
lakukan.
Menyadari bahwa diri teramat hina di hadapan Yang Maha Agung
Di antara keindahan iman adalah anugerah pemahaman bahwa kita begitu
hina di hadapan Allah swt. Saat itulah, seorang hamba menemukan jati
diri yang sebenarnya. Ia datang ke dunia ini tanpa membawa apa-apa. Dan
akan kembali dengan selembar kain putih. Itu pun karena jasa baik orang
lain.
Apa yang kita dapatkan pun tak lebih dari anugerah Allah yang tersalur
lewat lingkungan. Kita pandai karena orang tua menyekolah kita. Seperi
itulah sunnatullah yang menjadi kelaziman bagi setiap orang tua.
Kekayaan yang kita peroleh bisa berasal dari warisan orang tua atau
karena berkah lingkungan yang lagi-lagi Allah titipkan buat kita. Kita
begitu
faqir di hadapan Allah swt.
Seperti itulah Allah nyatakan dalam surah Faathir ayat 15 sampai 17,
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah
yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia
menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang
baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak
sulit bagi Allah.”
Menyadari bahwa surga tak akan termasuki hanya dengan amal yang sedikit
Mungkin, pernah terangan-angan dalam benak kita bahwa sudah menjadi
kemestian kalau Allah swt. akan memasukkan kita kedalam surga. Pikiran
itu mengalir lantaran merasa diri telah begitu banyak beramal. Siang
malam, tak henti-hentinya kita menunaikan ibadah. “Pasti, pasti saya
akan masuk surga,” begitulah keyakinan diri itu muncul karena melihat
amal diri sudah lebih dari cukup.
Namun, ketika perbandingan nilai dilayangkan jauh ke generasi sahabat
Rasul, kita akan melihat pemandangan lain. Bahwa, para generasi
sekaliber sahabat pun tidak pernah aman kalau mereka pasti masuk surga.
Dan seperti itulah dasar pijakan mereka ketika ada order-order baru yang
diperintahkan Rasulullah.
Begitulah ketika turun perintah hijrah. Mereka menatap segala
bayang-bayang suram soal sanak keluarga yang ditinggal, harta yang pasti
akan disita, dengan satu harapan: Allah pasti akan memberikan balasan
yang terbaik. Dan itu adalah pilihan yang tak boleh disia-siakan. Begitu
pun ketika secara tidak disengaja, Allah mempertemukan mereka dengan
pasukan yang tiga kali lebih banyak dalam daerah yang bernama Badar. Dan
taruhan saat itu bukan hal sepele: nyawa. Lagi-lagi, semua itu mereka
tempuh demi menyongsong investasi besar, meraih surga.
Begitulah Allah menggambarkan mereka dalam surah Albaqarah ayat 214.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?
Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang
beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
Menyadari bahwa azab Allah teramat pedih
Apa yang bisa kita bayangkan ketika suatu ketika semua manusia berkumpul
dalam tempat luas yang tak seorang pun punya hak istimewa kecuali
dengan izin Allah. Jangankan hak istimewa, pakaian pun tak ada. Yang
jelas dalam benak manusia saat itu cuma pada dua pilihan: surga atau
neraka. Di dua tempat itulah pilihan akhir nasib seorang anak manusia.
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya,
dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu
mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. 80: 34-37)
Mulailah bayang-bayang pedihnya siksa neraka tergambar jelas. Kematian
di dunia cuma sekali. Sementara, di neraka orang tidak pernah mati.
Selamanya merasakan pedihnya siksa. Terus, dan selamanya.
Seperti apa siksa neraka, Rasulullah saw. pernah menggambarkan sebuah
contoh siksa yang paling ringan. “Sesungguhnya seringan-ringan siksa
penghuni neraka pada hari kiamat ialah seseorang yang di bawah kedua
tumitnya diletakkan dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya.
Sedangkan ia berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang lebih berat
siksaannya daripada itu, padahal itu adalah siksaan yang paling ringan
bagi penghuni neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Belum saatnyakah kita menangis di hadapan Allah. Atau jangan-jangan,
hati kita sudah teramat keras untuk tersentuh dengan kekuasaan Allah
yang teramat jelas di hadapan kita. Imam Ghazali pernah memberi nasihat,
jika seorang hamba Allah tidak lagi mudah menangis karena takut dengan
kekuasaan Allah, justru menangislah karena ketidakmampuan itu.